Rabu, 23 September 2020

Bertahan

Aku ingin kembali disaat aku belum mengenalmu. 

Disaat aku tidak lagi merasakan pahitnya sebuah rasa.

Namun kini aku sudah jera.

Aku tak bisa melepaskanmu, karena rasa ini telah tertanam jauh.

Namun. Aku sangat sulit untuk bertahan. Aku mengenalmu, dan bagiku. Kau sangat indah. 

Bagiku pula, aku merasa sudah terlampau meraihmu. Sesuatu yang tak seharusnya bersamaku. Namun tertakdirkan bertemu dan melabuhkan cinta.

Saat ada sebuah tanya. Haruskah melepasnya atau bertahan saja?

"Saat kau melepaskannya, rasanya tak lebih sakit daripada bertahan" kata mereka.

"Bertahanlah, segala duka ini hanya ujian" ujar yang lainnya. 

Aku hanya ingin satu. Ingin kembali ke masa sebelum bertemu kamu, aku tak ingin merasakan sakit ini lagi, dan cintamu terlalu manis untukku. 

Aku sadar, mungkin aku memang tak pantas untuk siapapun.

Namun waktu telah lama berlalu. Yang dapat aku lakukan sekarang hanyalah bersikap seolah semua baik-baik saja. Meskipun topengku masih sangat terlihat olehmu. 

Ku kan tetap berusaha hingga ku temukan titik jawab dari petikan tanya.


Kita

Waktu telah berlalu. Tahun kian tahun sudah kita jalani hubungan ini. Suka dan duka kita rasakan semua.

Yang aku ingin katakan hanya 2. Maaf dan terima kasih.

Terima kasih, kau adalah lentera ketika gelap mendatangiku. Kisah suka yang menghilangkan haru. Aku selalu menyukaimu. 

Terima kasih, bagimu yang telah menganggap ku sebagai kekasihmu. Aku tak pernah berprasangka bahwa suatu hari akan ada seorang yang dapat bertahan menjalin ikatan kasih denganku. Karena dalam kisah sebelumnya, hati ini sudah pernah merasai pahitnya ditinggalkan, dengan alasan.. Tidak tahan.

Terima kasih, atas cinta yang kau beri. Dan limpahan kasih yang kau suguhi. Ketidaksempurnaanku tidak menggoyahkan rasamu.

Namun, maaf. Aku hanyalah seorang gadis kecil. Tubuhku lemah. Apalagi perihal hati. 

Sungguh maafkan aku, aku tak bisa mengerti dirimu. Aku tak bisa terus menerus menerima semua pendapatmu. 

Aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Jika kau merasa aku harus diam, maka akan aku lakukan. Tapi atas bicaramu, kau juga memasukkan unsur Aku didalamnya. Maka bukankah aku berhak untuk tidak bungkam?

Maaf sekali lagi. Aku tak bisa menerima pendapatmu untuk kali ini, hal ini bukanlah suatu yang aku setujui.

Maaf. Aku tidak ingin ikut campur dengan segala sesuatu yang dengannya aku benci.

Lakukan sesukamu.